Yang Ku Cari
Tetes rintik
hujan menumbuk lembut tudung lelaki itu. Lelaki itu berdiri diatas hamparan air
luas tak berujung. Entah mengapa dia tidak terjatuh kedalamnya. Angin meniup
jiwanya entah kemana. Angin seolah berbisik, tapi tak ada satupun kata
terlontar dari mereka. Aneh. Rintik-rintik hujan yang jatuh diatas genangan
menciptakan gelombang yang indah. Berirama. Jaket kulit hitamnya menyembunyikan
wajah lelaki itu. Menyembunyikan sosok yang misterius. Mulutnya seperti serius
terhadap sesuatu. Dagu bewoknya tak tersentuh air selain satu-dua tetes.
Pantulan matanya tampak samar-samar jika tampak dari dekat. Tidak sadar bahwa
gerimis membasahi sepatu bot setinggi lututnya. Meskipun telah berdiri lama
dalam bekunya angin yang menusuk tulang, tapi dia tidak menampakan rasa dingin
membeku. Memang betul-betul misterius, sekaligus aneh betul. Awan-awan hitam
bergerombol menutupi bumi. Dan mengembara dengan enaknya. Belum ada seberkas
cahaya yang jatuh kedalamnya.
Perlahan dia
merasa pasti untuk melangkah. Mungkin tidak mungkin jika dia harus melangkah.
Pikiran lelaki itu tidak bisa dibaca semudah merobek sehelai kertas. Rintik
terbayang mengiringi perjalanan. Sampai dia dipinggiran sebuah
"pulau" tulang-tulang. Tulang rusuk. Seperti membrojol begitu saja
dari dalamnya. Rusuk-rusuk itu putih seakan tak tersentuh apapun. Namun tidak
sedikit yang telah berlubang, patah, berlumut, dan kondisi mengenaskan lainnya.
Lelaki itu memandang mereka dengan datar. Dia memandangi mereka yang
putih--samar-samar-- secara saksama. Laksana mencari sesuatu. Apa dia mencari
sebuah atau beberapa tulang rusuk, entahlah. Bisa dilihat pada akhirnya.
Dua genangan
air 1-2 meter dikiri-kanannya meninggi membentuk silindris air. Sang lelaki tak
memandang bahkan tak melirik. Dia tahu tapi pura-pura tidak tahu atau memang
betul-betul tidak tahu? Airnya menjembul dari dalam hamparan air seperti air
pancur. Tapi genangan itu tidak jatuh dan tidak pecah entah bagaimana. Malah
semakin tinggi dan berhenti meninggi setelah mencapai tinggi setinggi tubuh
lelaki itu. Detik demi detik dua air itu membentuk suatu wujud. Wujud manusia.
Masing-masing wujud itu memakai jubah hitam yang sama. Jubah itu menghampar
hingga kemata kaki. Bisa dibilang tidak terputus dengan genangan air luas itu.
Ujung-ujung lengan jubah mereka lebih lebar dari pergelangan tangan dan
terkoyak-koyak sepanjang lingkar pergelangan tangan jubah mereka. Wajah mereka
benar-benar gelap terhalang tudung panjang. Tak sedikit pun yang tampak dari
dalamnya. Gelap gulita. Yang bisa diketahui hanya tekstur terbakar dari tangan
mereka. Kulit bergelombang sangat berbeda dengan kebanyakan kulit mulus manusia
manapun. Kuku-kuku panjang hitam memancarkan kehororan tersendiri dari
masing-masing.
Sosok
sebelah kanan memegang erat sebuah sabit dengan kedua tangan anehnya. Mata
sabitnya besar-panjang. Mampu untuk memotong menjadi dua perut manusia mana pun
dengan mudahnya. Sabit itu menyatu dengan tongkat kayu eboni panjang yang
menjadi gagangnya. Sedangkan sosok di sebelah kiri memegang sebuah timbangan
emas yang berkilau ditangan kirinya. Tak terpancarkan kesulitan bagi si sosok
untuk menahannya dengan satu tangan saja. Bahkan dengan satu jari jika dia mau.
Timbangannya berkilau. Indah. Seperti apa bentuk timbangan “Libra”, seperti
itulah bentuk timbangan yang ditenteng si sosok. Mereka berdua mematung seperti
apa yang diperbuat si lelaki hingga kini.
”Hey.” Kata
lelaki itu tanpa melirik kepada kedua sosok. Kedua sosok melirik lelaki itu
dari dalam kegelapan yang menutupinya. Si lelaki malah terdiam. Dia tidak
melanjutkan ucapannya. Barangkali belum. Sosok itu, kedua-duanya masih melirik
si lelaki—atau setidaknya kepala mereka masih serong kearah si lelaki. Mungkin
sosok-sosok itu setia menunggu kalimat lanjutan yang akan meloncat dari
lidahnya. Walau harus menunggu sampai si lelaki itu telah mati. Mereka tidak
banyak bergerak, bahkan tidak berkata sepatah kata pun setelah kemunculan
mereka. Apa mungkin mereka melihat keseriusan si lelaki dalam memandang
rusuk-rusuk itu dari cara dia memandangnya? Dengan enggan si lelaki menelan
ludah dimulutnya. “Apa kalian tahu... “ lanjutnya dengan suara nge-bass ala
suara pria sejati. Pelan-pelan si lelaki mengarahkan telunjuknya kearah
tulang-belulang itu. Ada jeda sejenak
sebelum dia melanjutkan kalimatnya yang terpotong. “... manakah diantara mereka
yang salah satu diantara mereka adalah tulang rusukku yang hilang?” dia
menyentuh dada bagian bawahnya seraya menyebutkan “tulang rusukku yang hilang.”
Kedua sosok itu akhirnya membuang muka dari muka si lelaki kearah bukit para
rusuk.
Mereka
masing-masing melihat dengan pasti kearah rusuk-rusuk itu. Setelah sekian lama
mereka melihat-lihat, sosok yang memegang sabit menunjuk kearah salah satu tulang.
Sosok yang memegang timbangan diam tanpa membantu menunjukkan tulangnya.
Barangkali tangannya lelah memegang timbangan. Barangkali. Belum jelas yang
mana satu tulang yang dia maksud. Lelaki itu mencari—meski tak tampak bahwa dia
sedang mencari—tulang yang di maksud. Suara serak terlontar dari sosok itu.
Suara yang cukup rumit untuk didengar. Nadanya cukup horror. “Kata Dia, itu rusuk yang kamu cari.” Omongannya agak
terpatah-patah. Dia terdengar pasti. Lelaki itu antara percaya tidak percaya.
Apalagi dalam katanya tersebut “Dia”. Dia merasa itu jawaban yang pasti. Si
lelaki melihat seberkas cahaya terpancar diantara rusuk-rusuk itu. Sebelumnya
tidak ada kilauan itu. Jika dilihat lebih dekat, cahaya itu berasal dari salah
satu dari mereka. Masih tampak samar tulang rusuk yang bagaimana selain dia
berkilau.
Si lelaki merasa tulang itu
menariknya. Ekspresi wajahnya tampak ada perubahan. Dia berusaha menggapainya.
Tapi kaki tak mau bekerja sama. Awan-awan mulai bergerak lebih cepat dan
semakin cepat. Tanpa dia sadari dan mengerti, kedua sosok mencengkeram bahunya.
Menahan tubuhnya dari pergerakan maju dengan memakai tangan kosong mereka.
Gundukan rusuk-rusuk bergetar-getar tanpa ada sebab. Bergetar cukup kuat.
Gemericik air disisi-sisi gundukan berteriak semakin keras. Meski kaki tidak
bergerak, dia tidak mau berhenti meraihnya. “Rusuk itu....” kedua sosok itu
semakin mencengkeram kuat bahunya. Kuku mereka menusuk bahunya. Terasa sungguh
sakit menusuk hingga menyentuh tulang. Tapi mereka bahkan tidak kesusahan
sedikitpun. Bergoyang saja tidak. Si lelaki tidak peduli akan hal itu, “...
adalah rusuk... “ cuaca semakin aneh. Semakin menggila. Semua semakin bergetar
dengan hebohnya. Si lelaki menekan kalimat terakhirnya dengan mantap, “... YANG
KUCARI, KAN?!”
To Be Continued... soon whwhwh
0 Response to "Yang Ku Cari (Sahabat Pena -- Al Fatih Generation)"
Posting Komentar